Rabu, 18 Mei 2011

RELEVANSI ISLAMISASI ILMU PENEGTAHUAN MODERN

RELEVANSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN
Oleh:
Muhammad Saad

Pendahuluan.
Ilmu pengetahuan modern disamping membawa manfaat yang cukup signifikan, yaitu dengan membantu kebutuhan hajat hidup manusia. Ternyata di sisih lain telah menimbulkan problem yang krusial. Problem yang mendasar pada umumnya terdapat pada epistemologi dan  metodologi.  Problem tersebut berdampak pada permasalahan teologis. Berangkat dari titik ini, maka bagi penulis Islamisai Ilmu pengetahuan sangat urgent diperlukan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan berbagai keterbatasan mencoba menjelaskan, pertama, problem ilmu modern menurut Mulyadi Karta Negara dan Syaid Naquib al-Attas. Kedua, dampak ilmu modern. Ketiga, Islamisasi Ilmu Pengetahuan modern.

Problem Ilmu Modern (Mulyadi Karta Negara)
Perlunya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan oleh intelektual muslim di tengah-tengah perkembangan ilmu modern, adalah perihal yang urgent. Menurut Mulyadi karta Negara guru besar filsafat islam, urgentnya islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan pandangan ilmu modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius, terutama pada sudut pandang teologi.[1] Jika dipandang secara awam, seolah-olah tidak ada titik temu yang menjadi problem dalam sudut pandang akidah (teologi) Islam. Namun bila lakukan kajian lebih intensif  malalui ruang lingkup dan metodologi ilmu modern, maka akan terlihat perbedaan fundamental yang terjadi dalam sistem epistemologi antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang kemudian berdampak kepada aspek teologi sebagai konskensi logisnya.
Pertama, kajian kita terfokus kepada ruang lingkup ilmu modern. Sebagaimana yang sudah  mafhum, bahwa ilmu pengetahuan modern lahir dari ilmuwan-ilmuwan Barat yang hanya berorientasi pada obyek indrawi. Hal ini dapat dilihat dari definisi ilmu itu sendiri, yaitu “ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris”.[2] Artinya bahan atau sudut tinjauan sasaran pembicaraan dan penelitian ilmu pengetahuan modern berkutat pada hal-hal yang bisa dirasakan oleh pengalaman panca indra. Misalnya: manusia, ekonomi, alam, dan hukum.[3] Dengan demikian, obyek ilmu modern telah menafikan diri dari permasalahan nonempiris atau metafisika. Pembatasan lingkup ilmu modern terhadap indrawi sebagai satu-satunya realitas yang ada, seperti tercermin dari paham positivisme, matrealisme, dan sekularisme.
Bila obyek pengetahuan dalam ilmu modern adalah empirik, maka metodologi untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah menggunakan metode observasi. Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi. Di sini pendekatan rasional digabungkan pedekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Tujuan dari pengolaborasian pendekatan tersebut ialah: pertama untuk menyusun pengetahuan secara konsisten dan akumulatif, dan kedua untuk memisahkan antara pengetahuan yang fakta dan tidak.[4]  Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwasannya indrawi yang menjadi satu-satu sumber otoritas  pengetahuan, sedangkan rasio hanya sebagai penyusun dan pengumpul data pengetahuan. Sehingga hal ini menjadi penyebab utama penegasian terhadap realitas obyek yang ghaib.
Pembatasan ruang lingkup dan metodologi inilah yang telah memberikan sinyal bahwa ternyata dunia keilmuan Barat modern membawa problem serius bagi Islam, meskipun di sisi  teknologi menghasilkan penemuan-penemuan mutakhir,[5] seperti teknologi modern di dalam berbagai bidang, dan masih banyak yang lainnya. Bagi Barat, pertanyaan-pertanyaan metafisis tidak memiliki akar nilai epistemologis. Sebagimana pernyataan Immanual Kant yang dikutip oleh Adnin Armas peneliti INSIST, bahwa bagimanapun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berdasarkan panca indra. Menurut Kant, metafisika tidak memuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori seperti yang wujud dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion).[6] Epistologis yang cenderung mengarah ke sekular bahkan Atheis inilah yang kemudian menjadi perbedaan fundamental dengan konstruk epistemologi di dalam Islam.

Problem ilmu modern (Syaid Naquib al-Attas)
Syaid Naquib al-Attas menyebut gejala ilmu pengetahuan modern sebagai westernisasi ilmu. Menurut al-Attas westernisasi ilmu pengetahuan adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westwernisasi ilmu telah mengangkat dugaan dan keraguan sebagai metodologi ilmiah, kemudian menjadikan keraguan sebagai satu-satunya epistemologi  dalam mencari kebenaran, menolak wahyu dan agama dalam ruang lingkup keilmuan, serta menjadikan filsafat sekular dan Humanisme-antroposentris sebagai alternatif basis keilmuan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[7]
Akibat dari metodologi yang dibangun atas dasar keraguan, maka hasil yang mereka capai adalah tidak bersifat final, terus berkembang, dan selalu mengalami perubahan. Hal demikian dikatakan oleh Dr. Syamsuddin Arif (peneliti INSIST) sebagai ‘’kangker Epistemologi’’.  Pengidap ‘’Kangker Epistemologi’’, menunjukan gejala-gejala sebagai berikut : (1), Skeptis terhadap segala hal, dari soal sepele hingga ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Bagi mereka qath’i dan bayyin adalah sama dan patut diperdebatkan. (2). Relativistik,  pengidap relativisme tersebut menganggap semua kebenaran bersifat relatif (termasuk Agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebaginya). Jika para skeptis menolak semua kebenaran, maka para relativisme menganggap semua adalah benar. (3). Gejala lain dari pengidap kangker ialah mereka mengalami kekacauan ilmu (cognitive confusion). Mereka tidak mampu membendakan benar dan salah, hak dan bathil.[8]
Penolakan terhadap realitas (Tuhan) atas nama ilmu dapat dilihat pada Carles Darwin (w. 1882 M), seorang ahli biologi yang terkenal dengan teori evolusinya. Penulis buku the origin of species ini[9] berasusmsi bahwa teori kejadian makhluk berawal dari sekitar 3.5 milyar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu “berevolusi” menghasilkan aneragam species baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru yang bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. [10] Dalam otobografinya, dia menyatakan :
Argumen desain yang selama ini dirasakan sangat meyakinkan, ternyata telah gagal. Kini hukum seleksi ilmiah telah ditemukan. Sekarang ini kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa engsel kerang indah, misalnya, harus merupakan hasil perbuatan suatu Wujud yangcerdas (Tuhan), sebagaimana engsel pintu hasil perbuatan manusia.[11]
Dari penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelumnya Darwin adalah seorang yang percaya akan eksistensi Tuhan (theis). Akibat terpengaruh oleh pandangan ilmiahnya, ia menjadi Atheis. Inilah bukti kongkrit bahwa perspektif ilmu modern bisa menjadikan seseorang Atheis atau paling tidak sekularis.  

Dampak Metodologi Ilmu Modern terhadap Agama
Ketika konsep bangunan epistemologi dan metodologi Barat skular ini diadopsi di dalam ranah ilmu keagamaan, maka yang terjadi kehancuaran sakralitas nilai-nilai agama tersebut. Sebagimana yang kita pahami di atas bahwa, nilai-nilai ilmu modern hanya berasas pada realitas empirik. Bila hal ini dijadikan metodologi dan epistemologi ke dalam studi ilmu Islam, maka yang pertama-tama dilakukan adalah relativisasi terhadap sumber dan obyek pengetahuan non empiris. Mengapa demikian ?, sebab metodologi dan epistemologi modern tidak menerima metafisik. Bila ‘terpaksa’ masuk wilyah religi, maka apapun konsep metafisik, termasuk Tuhan yang menjadi sumber otoritas dalam Agama harus tunduk kepada akal. Setiap orang berhak mendifinisikan sesuai dengan rasio masing-masing. Bila semua berhak membuat batasan masing-masing, maka semua konsep tentang realitas metafisik adalah relatif karena lahir dari budi setiap manusia. Bila sumber dan obyek dianggap relatif, maka produk yang dihasilkan-pun otomatis menjadi relatif.
Contoh refleksi dari relativisme pemikiran tentang keagamaan adalah ide pluralisme agama. Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang mengkampanyekan bahwa semua Agama ada benar.  Berbagai teori diajukan oleh para penganjurnya untuk menjadi legitimasi pembenaran terhadap ide mereka. Menurut Dr.  Anis Malik Thoha dalam Disertasinya yang berjudul ‘’Tren Pluralisme Agama’’ mengkalisifikasikan menjadi empat katagori, (1). Humanisme Sekular, (2). Teologi Global, (3). Sinkretisme, (4). Hikmah Abadi (Shopia Perennis). Yang masing-masing aliran membawa teori sendiri-sendiri.[12] Akan tetapi pada intinya berhulu pada pendirian yang sama:[13] relativisme.
Humanisme sekular misalnya, mereka menganggap manusia sebagi hakikat sentral kosmos (Antroposentris), atau manusia sebagai referensi nilai dalam segala hal. Ide ini lahir pada abad ke-5 SM di tangan pemikir shopis yang bernama Protagoras. Konsekwensi logis dari aliran ini, bila terjadi perbedaan maka tidak ada kebenaran mutlak, sehingga tidak boleh dikatakan yang satu benar dan yang satu salah, alias kebenaran adalah relatif. Kemudian Humanisme inilah yang menjiwai pemikiran, filsafat, teori, dan ideologi seperti positivisme logis, eksitensilisme, pragmatisme, demokrasi, nasionalisme, globalisme dan sebagainya yang cenderung mensakralkan sentralitas manusia.[14] ketika hal ini dilegalkan (baca: dipaksakan) melauli globalisasi. Maka apapun yang selama ini menjadi pembatas manusia, seperti ras, suku, aliran kepercayaan, bahkan Agama harus bersifat relatif. Dari sinilah kemudian lahir pluraisme Agama. Maka ketika masuk pada ranah setiap Agama, (kecuali agama hindu—sebab di dalam Hindu terdapat esensi ajaran pluralistik)[15] dicarikan justifikasi sumber agama.
Begitu juga di dalam Islam. Para penganut setia aliran ini, dengan berbagai cara mencari dalil di dalam al-Qur’an agar bisa diterima dikalangan umat Islam. Sebagimana yang dilakukan Nurkholis Madjid ketika mengusung ide ini di Indonesia. Dengan menjustifikasi beberapa ayat dalam al-Qur’an, Nurkholis Madjid dkk yang terakomodir dalam kelompok Jaringan Islam Liberal mencoba menggulirkan paham berbahaya bagi keimanan tersebut ke dalam ajaran Islam di Indonesia. Adapun ayat yang dijadikan dalih untuk menguatkan pendapat mereka adalah :
  1. Qs. Al-Baqarah (2): 62
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah], hari kemudian dan beramal saleh], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
  1. QS. Al-Maidah: 69
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dengan memakai dalil di atas kemudian Nurkholis Madjid mempromosikan gagasannya dengan istilah ‘Teologi Inklusif’, sebagimana yang dikutip Dr. Adian Husaini dalam buku ‘Teologi Inklusif Cak Nur’. Dengan antusias Sukidi menjelaskan panjang lebar keunikan teologi ini. 
‘’Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi sigfinikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi ‘’muslim’’ itu sendiri (secara generik)) juga dapat kualifikasi bagi penganut agama lain. Khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi Maupun Kristen. Maka konsekwensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita—baik sebagai orang Islam, Yahudi, Kristen, maupun Shabi’in--, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan…[16]
Inti dari pemaparan di atas ialah, bahwa Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) dan Shabi’in adalah agama yang benar dan pengikutnya akan mendapatkan balasan surga. Dengan hanya mengartikan ‘Islam’ sebagai arti sikap pasrah, yang mereka ambil dari penjelasan ayat 46, QS al-Ankabut, maka bagi mereka Ahlul kitab dan Shabiin dianggap sebagai orang muslim.   Singkatnya, bagi Nurkholis Madjid dkk, kebenaran dan keselamatan bukan monopoli agama Islam semata. Serta orang bisa di sebut ‘’Muslim’’ tanpa harus beragama Islam. Yang penting bersikap pasrah.[17]
Terlepas dari tujuan tendensius, inilah merupakan hasil dari hegemoni metode ilmiah modern terhadap disiplin keilmuan Islam. Alih-alih mencari kebenaran obyektif, bebas nilai, dan universal, ternyata malah jatuh ke dalam paradoks. Kebenaran yang diyakini tsawabits di dalam Islam, didekonstruksi menjadi pemahaman yang meragukan. Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya[18], dirubah menjadi kebenaran yang nisbi.
Padahal, konsep ilmu pengetahuan bersifat obyektif masih menjadi pro dan kontra. Bagi yang mengikuti pendapat ini, beranggapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu.[19] Ilmu, bagi mereka adalah netral, tidak memihak. Baik dan jahatnya sebuah ilmu pengetahuan tergantung ilmuwanya[20]. Sedangkan kelompok kedua, menolak pandangan yang pertama. Ilmu bagi mereka, sama sekali tidak bisa terlepas dari subyektifitas sang ilmuwan.
Apakah betul ilmu itu bisa benar-benar obyektif ?. Holmes Rolston, Seorang  profesor  filsafat di Colorado State University yang mendapat gelar di bidang fisika dan matematika, misalnya menyatakan dalam bukunya ‘Science and Religion : A Critical Survey’, ‘’bahwa seorang peneliti akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui.’’ Memang benar ilmu dapat diminimalisir dari subyektivitas, akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Semakin seorang mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin itu pula tidak bisa dilepaskan dari subyektivitas. Kesimpulan dari Rolston bahwa (bahkan) fisika, kimia, dan astronomi, tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif sekalipun, tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan semakin subyektif saja.[21]
Jadi menurut hemat penulis, ide Pluralisme agama yang digulirkan oleh Cak Nur dkk adalah merupakan implementasi dari kerancuan berfikir yang disebabkan oleh adopsi besar-besaran terhadap epistemologi dan metodologi ilmu pengetahuan Barat modern yang bersifat obyektif relatif. Disamping ada tendensi tertentu yang tidak perlu diungkapkan oleh penulis.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan konteporer.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu.[22]Menurut Al-Attas, Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi secara umum. Al-Attas mendifinisikan Islamisasi ialah ‘’pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya.[23] Artinya seorang muslim memiliki konsep tersendiri tentang konsep metafisika yang datang berupa wahyu bukan berupa mitos, animisme, yang bersifat universal (tidak terikat budaya dan bangsa), serta terbebas dari sekular. Islamisasi adalah satu proses pengembalian kepada fitrah.[24]
Al-Attas memilih konsep ‘’Islamisai Ilmu pengetahuan Kontemporer’’ adalah dipandang lebih tepat. Sebab menurut Prof. Wan. Mohd Nor terma-terma teknikal tersebut labih dikhususkan kepada ilmu kontemporer Barat yang penuh dengan problem. Bila hanya menggunakan susunan kata ‘’Islamisasi ilmu pengetahuan’’ saja, maka akan berimplikasi bahwa semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu tradisi Islam yang berdasrkan pada al-Qur’an dan Sunnah, yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim adalah belum Islami dan oleh sebab itu perlu diislamkan. Padahal ilmu-ilmu tradisi Islam tidak pernah mengalami pelepasan diri dari Tuhan sebagai sumber otoritas kebenaran.[25]
Justru yang terjadi pada masa itu adalah proses akuisisi, di mana sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam sebagai tamu yang diundang. Pada tahap pertama sang tuan rumah bersikap jaga jarak dan hati-hati. Kemudian adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana tuan rumah mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawah sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jabir ibn Hayyan (815 M), dan al-Kindi (w. 837 M).  proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut proses asimilasi dan naturalisasi atau lebih tepatnya Islamisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi (w. ca. 853 M), Umar al-Khayyam ( w. 1132 M), dalam Matematika, Ibn Sina (w. 1037 M) dan Al-Nafis (w. 1288 M) dalam kedokteran, dan masih banyak yang lainnya.[26]
Islamisasi bukan berarti menafikan semua paradigma Barat terhadap epistemologi, karena menurut Naquib ada persamaan antara epistemologi Barat dan Islam. Persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan emperis,[27]deduktif dan induktif.[28] Perbedaan antara keduannya adalah sangat mendasar yaitu, terletak pada pandangan hidup (divergent wordview) mengenai Realitas akhir. Di dalam Islam, Wahyu merupakan merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk dan ciptaan dan pencipta. Wahyu merupakan dasar kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagi sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari perspektif rasionalisme dan emperisme.[29] Sedangkan Barat memandang realitas hanya fenomena alam. Karena hanya sebuah fenomena, maka bagi mereka realitas tidak final,  selalu berubah.[30] Penemuan terhadap realitas hanya sebuah hipotesa, yang akan disusul hipotesa selanjutnya, dan akan berjalan begitu seterusnya.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer terbit dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer yang berdalih bebas nilai, ternyata tidak bebas nilai (free value) dan tidak juga bersifat universal karena telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi[31] dari penguasa. Al-Attas menegaskan bahwa ‘’ilmu bukannya netral, bahkan dapat disusupi dengan sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu’’.[32] Menyadari hal tersebut al-Attas berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu Barat bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara pandang hidup suatu kebudayaan.[33] Dan itu terbukti, pada saat ini peradaban Barat begitu menghegemoni peradaban lain, lebih-lebih peradaban Islam. Itu semua adalah hasil dari penyebarluasan ilmu pengetahuan Barat modern ke seluruh pelosok dunia.
Islamisasi ilmu pengetahuan modern, menurut al-Attas harus diawali pengidentifikasian terhadap wordview Islam dan sekaligus mampu memahami budaya Barat. Pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan.[34]
Setelah mengetahui wordview Islam secara mendalam, kemudian melakukan Islamisasi bahasa, dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Jadi, ‘’bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan wordview atau visi hakikat (reality) kepada manusia. Konsep Islamisasi yang umum ini dengan sendirinya akan membawah islamisasi ilmu disebabkan pemikiran dan rasionalitas yang sudah diIslamkan,[35] sebagimana disosialisasikan oleh Mulyadi Karta Negara dalam bukunya ‘’Mengislamkan Nalar Sebuah Respon Terhadap Modernitas’’.
Barulah setelah itu melakukan Islamisasi secara sistematis yang melibatkan dua proses yang saling terkait. Pertama ialah proses pengisoalsian unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dri ilmu tersebut.[36] Adapun unsur-unsur Barat adalah (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Kedua, memasukkan unsur-unsur  dan konsep-konsep utama Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. [37]  Al-Attas menyarankan unsur dan konsep utama Islam yang terdiri (1) Manusia; (2) din; (3) Ilm dan Ma’rifah; (4) hikmah; (5) ‘adl; (6) amal-adab; dan (7) kulliyah-jammiyah (konsep universitas). Semua unsur hendaknya disadur dalam konsep Tawhid, shariah, akhlak, sunnah, dan tarikh. Beliau menolak konsep Islamisasi yang hanya memindah, menempelkan sains dan prinsip Islam atas sains skular, karena ini akan memperburuk keadaan sebab virus sekular masih terdapat tubuh Islam.[38]

Kesimpulan.
Fenomena Atheisme, sekularisme, liberalisme yang menghinggapi baik para ilmuwan maupun para Agamawan adalah hasil yang ditimbulkan virus yang terdapat dalam ilmu pengetahuan modern. Virus tersebut terdapat epistemologi Barat modern, yang diistilahkan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai Kangker epistemologi.  Virus tersebut, adalah menjadikan empiris sebagai satu-satunya sumber realitas pengetahuan. Dengan demikian, metafisis dinegasikan eksistensinya sebagai sumber pengetahuan. Bagi mereka metafisika tidak bisa diakui keberadaannya karena tidak bisa berdasarkan panca indra, metafisika hanya sebagai Trancedenatal illusion. Bagi mereka yang terserang virus epistemologi Barat memiliki tiga gejala; (1). Skeptis, (2). Relatif, (3). Cognitif confision.  Virus tersebut yang kemudian menjadi standard ruang lingkup ilmiah modern.
Karena menimbulkan problem yang berdampak  pada ranah teologi, maka para ilmuwan Islam melakukan Islamisasi terhahadap ilmu pengetahuan kontemporer. Sebenarnya Islamisasi sejak dahulu sudah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Namun, Prof. Dr. Syaid Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim pertama yang meformulasikan Islamisasi secara sistematis pada tahun 1980 M. Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas tidak serta-merta mengadopsi ilmu modern, yang kemudian diberi label Islam. Akan tetapi Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adala revolusi epistemologi Barat. Revolusi epistemologi, bukan berarti merubah segalanya yang datang dari Barat, namun membuang wordview Barat tentang penegasian terhadap Realitas metafisis.
Tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan modern adalah untuk membentengi ummat Islam dari virus epistemologi Barat yang berdampak kepada aqidah dan menjadi penambah keimanan kepada Allah. Yang menurut Al-Attas islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Wallahu a’lam bisshawwab.









DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad, “Filsafat Ilmu”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2010.
Arif, Syamsudin, “Aroma penghinaan dalam Sains Modern”, http://www.republika.co.id. 2010.
Arif, Syamsuddin, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, GIP, Jakarta, 2008.
Armas, Adnin, “Dewesternisasi dalam Islam, dan Islamisasi ilmu Pengetahuan”, http://www.insistnet.com.
Armas, Adnin, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi”, Gontor, Ponorogo, 2006.
Bazlie Syafie, Ahmad, “Evaluasi Terhadap analisa perbandingan antara Konsepsi Islamisasi al-Attas dan al-Faruqi”, ISLAMIA, Edisi VII.
Hashim, Rosnani, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”, ISLAMIA, edisi VI.
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal. Sejarah, Konsepsi, penyimpangan dan Jawabannya”, GIP, Jakarta, 2002.
Karta Negara, Mulyadi, “Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon Terhadap Modernitas”, Penerbit Erlangga”, Jakarta, 2007.
Malik Thoha, Anis, “Tren Pluralisme Agama”, Perspektif, Jakarta, 2005.
Sani, Mohammad Mahmud, “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Scientifica Press, Mojokerto, 2009.



[1] Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon Terhadap Modernitas”, Penerbit Erlangga”, Jakarta, 2007, hlm. 08-09. Namun ide Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer menjadi popular setelah digulirkan oleh Prof. Sayyid Naquib al-Attas pada tahun 1977 di Makkah pada saat konferensi Dunia Pendidikan Islam yang kemudian pada tahun 1980 dipresentasikan di Islamabad, Pakistan. (Ahmad Bazlie Syafie, “Evaluasi Terhadap analisa perbandingan antara Konsepsi Islamisasi al-Attas dan al-Faruq”i, ISLAMIA, Edisi VII). Maka di sini penulis akan mencantumkan ide Islamisasi menurut S. N. al-Attas.
[2] Muhammad Adib, “Filsafat Ilmu”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2010. hlm. 50.
[3] Mohammad Mahmud Sani, “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Scientifica Press, Mojokerto, 2009, hlm. 02.
[4] Muhammad Adib, “Filsafat Ilmu”…, hlm. 99.
[5] Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar…,
[6] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi”, Gontor, Ponorogo, 2006, hlm. 02. Dikutip dalam “Kant’s Theory of Knowledge”.
[7] Adnin Armas, “Dewesternisasi dalam Islam, dan Islamisasi ilmu Pengetahuan”, http://www.insistnet.com, hlm. 02.
[8] Syamsuddin Arif, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, GIP, Jakarta, 2008, hlm. 140-141.
[9] Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar…, hlm 11.
[10] Syamsudin Arif, “Aroma penghinaan dalam Sains Modern”, http://www.republika.co.id. 2010.
[11] Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar…, hlm 11-12. penulis mengambil contoh Darwin karena menurut penulis Darwinlah yang bertanggung jawab atas terjadinya westernisasi ilmiah hingga saat ini tetap eksis hampir disetiap kampus perguruan tinggi.
[12]  Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama”, Perspektif, Jakarta, 2005, hlm. 51.
[13] Meminjam istilah Prof. Mulyadi Karta Negara.
[14] Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama”, hlm. 51-54.
[15] Ibid, hlm.50.
[16] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal. Sejarah, Konsepsi, penyimpangan dan Jawabannya”, GIP, Jakarta, 2002, hlm.104. Dikutip dari buku Teologi Inklusif Nurkholis Madjid, Kompas, hlm. 21-22.
[17] Ibid, hlm. 105
[18] Tentunya kebenaran Islam tidak sekonyong-konyong hanya sebuah dogma sebagaimana ajaran-ajaran selain Islam. Akan tetapi kebenaran Islam telah dapat dibuktikan dengan kebenaran yang teruji secara ilmiah.
[19] Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar…, hlm. 02.
[20] Muhaamd Adib, “Filsafat Ilmu”,
[21]Mulyadi Karta Negara, “Mengislamkan Nalar…, hlm. 03-04
[22] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi”,
[23] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”, ISLAMIA, edisi VI.
[24] Ibid,
[25] Ahmad Bazlie Syafie, “Evaluasi Terhadap analisa perbandingan antara Konsepsi Islamisasi al-Attas dan al-Faruqi”, ISLAMIA, Edisi VII.
[26] Syamsuddin Arif, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”..., hlm. 240.
[27] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi.., hlm. 05.
[28] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”…,
[29] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi.., hlm. 05.
[30] ibid
[31] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”…,
[32] Ibid
[33] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi.., hlm. 05.
[34] Ibid, 06.
[35] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer..
[36] Ibid.
[37] Adnin Armas, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi.., hlm. 07
[38] Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar